Dwijendranews.com| Opini| Perkembangan dan kemajuan teknologi telah banyak menyebabkan perubahan prilaku didalam kehidupa masyarakat. Salah satunya disektor keuangan, munculnya suatu bisns baru dibidang keuangan berbasis teknologi financial technology (Fintech). Salah satu fintech yang populer dikalngan masyarakat adalah pinjaman online atau peer-to-peer lending (P2P lending). P2P lending adalah penyelenggara layanan jasa keuangan untuk mempertemukan kreditur (pemberi pinjaman) dengan debitur (penerima pinjaman) dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringa internet. Pihak penyelengara membuat suatu platform/aplikasi sebagai sarana untuk menunjang pelaksanaan pinjam-meminjam tersebut. Regulasi terkait pinjaman online diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 77/PJOK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dimana dalam pasal 5 PJOK penyelenggara fintech lending wajib terdaftar di OJK.
Dalam pinjaman online ini, banyak kemudahan yang didapat oleh pengguna aplikasi (peminjam). Selain peroses yang tidak rumit, syarat juga dilakukan tanpa agunan dan pengurusnya cepat, lain halnya dengan pinjam-meminjam secara konvensional melalui lembaga keuangan seperti bank, bisa memakan waktu lama dan peroses yang rumit. Tentu saja kemudahan ini sangat membantu masyarakat dikala membutukan dana untuk keperluan yang mendesak. Biasanya untuk cepat mendapatkan pinjaman, jarang sekali draft perjanjian dibaca secara keseluruhan oleh peminjam(debitur), tinggal kilik “setuju” dan “terima” saja asalkan pinjaman cepat terelaisasi. Tanpa disadari ada beberapa klausul perjanjian yang memberatkan pihak konsumen dan baru disadari ketika terjadi masalah. Misalkan seperti dapat diaksesnya semua data pribadi dan aplikasi yang ada di handphone peminjam.
Namun dibalik kemudahan yang diberikan, dalam perjalanannya banyak masalah yang ditimbulkan, bunga terlalu tinggi dan sistem penagihan yang kurang baik bahkan menjurus ke perbuatan melawan hukum. perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penagih/colecctor bisa berupa ancaman kekerasan yang dilakukan lwat sms, whatsapp chats atau voice note. Collector mebuat grup whatsapp kemudian menyebarkan konten yang berisikan muatan pencemaran nama baik/penghinaan, menyebarkan data pribadi peminjam serta konten berisikan tulisan-tulisan asusila. Bahkan sampai menyebarkan keperusahaan/institusi tempat mereka bekerja. Tindakan penagihan yang seperti diatas tentunya sangat menggangu privasi, menimbulkan ketakutan dan rasa malu. Bahkan ada kasus seorang sopir harus di daerah Jakarta harus mengakhiri hidupnya karena teror collector dan seorang karyawan harus di PHK karena penagihan dilakukan kekantor yang bersangkutan.
Perbuatan penagihan seperti diatas adalah perbuatan melawan hukum, yang diikuti oleh sanksi pidana. Penagihan yang menggunakan ancaman kekerasan melalui media elektronik melanggar ketentuan pasal 29 jo pasal 45B UU ITE “setiap orang yang sengaja tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisikan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti tyang ditujukan secara pribadi diancam pidana penajara paling lama 4 tahun.” penagihan dengan mengirmkan konten atau menggunakan kata-kata asusila melanggar ketentuan pasal 27 ayat(1) jo pasal 45(1) UU ITE dengan ancaman pidana paling lama 6 tahun. Muatan penghinaan/pencemaran nama baik pasal 27 ayat (3). Berkaitan dengan penyebaran data pribadi konsumen oleh collector melalui media elektronik, melanggar ketentuan pasal 32 ayat (2) jo pasal 48 ayat (2) UU ITE dengan ancaman pidana paling lama 9 tahun. Berhati-hatilah dalam memilih aplikasi pinjaman online.*)
*) Penulis :
I Putu Anton Maha Dippayana,
Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Dwijendra University